Pentingnya
Amal Diterima Oleh Allah
Amal
shalih sangatlah penting, tetapi diterimanya amal shalih yang kita lakukan
tidak kalah penting. Sebab, tidak semua amal kebaikan yang dilakukan oleh
manusia diterima oleh Allah.
Dahulu
ada seorang sahabat yang ikut hijrah ke yatsrib (madinah) akan tetapi, ternyata
hijrahnya bukanlah disebabkan menaati perintah Allah dan Rasulullah, tetapi
karena wanita yang dia cintai juga ikut hijrah. Karena wanita tersebut bernama
Umu Qais maka ia mendapat gelar Muhajir Umi Qais. Peristiwa itu dilaporkan
kepada Rasulullah.
Rasulullah
bersabda, “ sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang mendapatkan balasan
dari apa yang diniatkannya itu. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan
Rasul-Nya maka ia akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau wanita yang hendak
dinikahinya maka ia mendapatkan apa yang diniatkannya,” (H.R Muslim).
Berdasarkan
hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa
tidak selamanya beribadah atau ketaatan kepada Allah mendapatkan pahala. Ada
juga kemungkinan bahwa ada orang berbuat amal kebaikan, tetapi ternyata
tidak diterima oleh Allah. Hal ini diperkuat dengan do’a yang biasa
diucapkan oleh Nabi saw. “Ya Allah
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, amal yang
tidak tidak diangkat, hati yang tidak khusyuk, dan do’a yang tidak diterima.”
Hadits
lain yang memperkuat adanya kemungkinan amal tidak di terima adalah hadits yang
mengisahkan tiga orang yang merasa berhak masuk surga. Tetapi ternyata mereka
tidak bisa memasukinya bahkan mereka dicampakan ke dalam api neraka.
Nabi
bersabda, “sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili adalah seseorang yang
mati syahid. Ia didatangkan dan diberitahukan kenikmatannya sehingga ia pun
mengetahuinya. Allah berfirman, “Apa yang telah kau lakukan?’ orang tersebut
menjawab, Aku berperang karena-Mu. Sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman,
‘Kau dusta. Kau berperang biar disebut gagah perwira dan itu sudah di katakan.’
Kemudian diperintahkannya untuk diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka...
”( Al--Hadits).
Kutipan
hadits di atas menunjukan bahwa amal kebaikan tidak dengan sendirinya berbuah
kebaikan jika tidak ada keikhlasan di dalamnya. Karena itu, penting bagi kita
untuk mengusahakan agar amal kebaikan diterima bukan sekedar melakukan amal
kebaikan.
Ilustrasi
sederhana mengenai diterima dan tdaknya amal adalah seperti seseorang yang
mengajukan lamaran pekerjaan. Jika seseorang melamar dengan surat yang lusuh,
tulisannya jelek dan tidak terbaca, banyak coretannya,tulisannya dengan tinta
merah, dan bahasanya tidak sopan maka kemungkinan besar lamaran tersebut akan
ditolak. Bahkan melamar sepuluh kali pun
juga akan ditolak sepuluh kali.
Jika
anda melamar pekerjaan dengan tulisan yang rapi. Bahasannya indah, kertasnya
bersih, dan kata-katanya sopan, apakah ada jaminan lamaran Anda diterima? Belum
tentu juga. Mungkin saja lamaran Anda tetap ditolak karena meskipun surat Anda
bagus tetapi lampiran-lampiran yang Anda sertakan telah memenuhi syarat, maaka
Anda juga tidak akan tetap diterima.
Jika
anda melamar pekerjaan, surat lamaran sudah rapi ditulis, lampiran sudah
disertakan, adakah jaminan Anda diterima? Belum tentu juga. Boleh jadi Anda
tetap ditolak karena perusahaan tersebut mengetahui Anda orang yang tidak baik.
Misalnya, suka menyakiti rekan kerja, suka mengambil barang perusahaan tanpa
izin, dan sebagainya. Lalu, bagaimana agar Anda diterima kerja? Hanya ada satu
jalan, penuhi semua yang diharapkan oleh perusahaan tersebut. Buat lamaran
pekerjaan dengan sebaik-baiknya, penuhi syarat yang diinginkan, dan berbuatlah
yang terbaik. Insya Allah lamaran Anda akan diterima. Ini hanya ilustrasi agar
lebih mudah dipahami.
Keimanan adal Syarat Utama
Dalam agama Islam, keimanan
memiliki peranan yang menentukan diterimanya amal perbuatan seseorang. Sebab
amal yang dilakukan oleh orang kafir tidak ada gunanya sama sekali. Allah
berfirman, “Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah
perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (Q.S. Al-Araf [7]:147)
Perlu diketahui bahwa seseorang
yang sudah Islam belum tentu hatinya beriman. Sebab, pintu masuk Islam adalah
membaca dua kalimat syahadat maka berarti ia telah masuk Islam. Akan tetapi,
belum tentu orang tersebut telah beriman.
Allah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami
telah beriman. ‘Katakanlah,’Kamu belum beriman, tapi katakanlah : kami telah
tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. ‘ Dan jika kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala
amalanmu; Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (Q.S.Al-Hujurat
[49]: 14)
Meskipun
orang-orang Badui, dalam ayat di atas, sudah menyatakan keimanan, tetapi
ternyata pernyataan tersebut dibantah oleh Allah. Sebab, sebenarnya mereka
masih sekedar di bibir.
Banyak
orang yang secara identitas kependudukan beragama Islam tetapi masih belum bisa
dikatakan beriman. Sebab, di hati merka belum ada rasa percaya kepada Allah dan
hari Akhir meskipun belum ada pembuktian. Percaya kepada Allah meskipuun belum
pernah melihat Allah dan percaya pada hari Akhir meskipun ia belum pernah
merasakan hari tersebut.
Tebal
tipisnya keimanan seseorang kepad Allah dan hari Akhir akan tercermin dalam
kekhusyukannya kepada Allah dan hari Akhir tipis tidaklah mungkin akan bisa
khusyuk di dalam shalatnya. Adapun orang yang keimanannyaa kepada Allah dan
harii Akhir penuh makashalatnya akan lebih mudah khusyuk. Hal ini sesuai dengan
yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu)
orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Q.S.Al-Baqarah
[2]: 45-46)
Ayat
di atas sangat tegas menyatakanbahwa orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah
mereka yang yakin akan bertemu Allah dan akan kembali kepada Allah. Bagaimana
mungkin seseorang akan khusyuk dalam shalat apabila ia tidak yakin akan
keberadaan Allah dan tidak yakin pula terhadap hari Kiamat.
Kekhusyukan
Rasulullah, para sahabat, dan salafush shalih tidak lain disebabkan karena
mereka memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari Akhir. Cobalah
hadirkan keyakinan Anda kepada Allah dan hari Akhir, lalu ketika sedang shalat
bayangkanlah bahwa Anda hendak melalui shirathal
mustaqim, di bawah ada api yang menyala-nyala, dan di depan sana terhampar
surga yang luas dan indah. Insya Allah shalat Anda akan lebih khusyuk daripada
ketika Anda mengingat tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Keikhlasan Sangat Berperan untuk Diterimanya Shalat
Keikhlasan
memiliki peranan yang besar untuk diterimnya amal ibadah, termasuk di dalamnya
shalat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an. “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agam yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat;dan yang demikian itulah agama yang lurus .“(
Q.S Al- Bayyinah [98]:5).
Lalu
apa yang dimaksud dengan ikhlas? Ikhlas begitu mudah diucapkan tetapi sulit
untuk dilaksanakan. Ikhlas berasal dari bahasa Arab, akhlasha-yukhlisu-ikhlash
yang artinya memurnikan. Kita diperintahkan untuk memurnikan amal kita hanya karena Allah
dan membersihkan amal dari motivasi-motivasi yang lain.
Amal
perbuatan yang ikhlas harus bersih dari sifat pamer, yaitu melakukan suatu
perbuatan karena ingin dipuji oleh manusia. Sebab, seseorang yang melakukan
amal ibadah karena pamer tidak akan mendapatkan apa pun selain pujian dari
orang lain sebagaimana hadits yang menceritakan orang yang mati syahid agar
dijuluki sebagai orang yang gagah perwira.
Betapa
sering kita tidak sengaja memamerkan amal perbuatan kita. Begitu licik dan
licinnya iblis sehingga ia dengan halusnya menanamkan sifat pamer di dalam diri
manusia. Seperti banyak orang syaitan membisikan kita untuk shalat dhuha, bukan
karena mencari pahala dari Allah tetapi agar orang-orang yang ada disana
memuji.
Perilaku
‘Riya juga bisa terjadi ketika seseorang memperbagus amal perbuatan saat dilihat orang lain. Seseorang yang ketika
shalat sendirian membaca surah terpendek, sedangkan ketika menjadi iman membaca surah
terpanjang adalah bukti dari sifat riya’ dalam dirinya.
Perilaku
riya’ dalam shalat termasuk perilaku orang munafik. Jika diserukan untuk shalat
mereka berdiri dengan bermalas-malasan. Mereka sebenarnya malas mengerjakan
shalat dan mau mengerjakan karena ingin pamer
semata. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “ Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’
(Dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali.’ (Q. S An- Nisa[4]:142)
Akan
tetapi kita juga waspada karena begitu liciknya syaitan maka ia melarang kita
beramal dengan menakut-nakuti kita dengan tidak ikhlas. Ketika kita hendak
shalat, hendak puasa, bersedekah, dan mengerjakan kebaikan yang lain lalu jadi
ragu dan takut tidak ikhlas, sebenarnya itu adalah bisikan syaitan aagar kita
tidak jadi beramal. Lalu bagaimana seharusnya? Keikhlasan itu tidak ubahnya
seperti orang yang buang hajat. Ia tidak pernah berpikir apa yang baru saja
dibuangnya, apakah gulai kamping, bakso sapi, soto ayam, sate kuda, atau yang
lainnya. Yang ia tahu hanyalah kotoran yang jika dibiarkan di dalam perut terus
akan menimbulkan penyakit. Jadi, harus ia buang. Demikianlah semestinya
keikhlasan itu.Meskipun amat berat, tetapi kita tetap harus melatihnya.
Selain
riya’ atau pamer, bahaya yang menghilangkan keikhlasan adalah sum’ah dan ‘ujub.
Jika riya artinya memamerkan amal perbuatan agar dilihat orang dan kemudian
dipuji, sum’ah adalah menceritakan amal perbuatan agar dipuji.
Banyak
orang yang melakukan amal perbuatan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak
seorang pun yang mengetahuinya. Akan tetapi, ternyata orang tersebut tidak kuat
menjaga keikhlasannya sehingga ia menceritakan amal tersebut kepada orang lain
dan merasa bangga ketika orang memujinya. Orang yang demikian yang didapatkan
hanyalah pujian tersebut.
Rasulullah
bersabda,” Barang siapa memperlihatkan amal maka Allah akan memperlihatkan amal
orang itu, dan barangsiapa memperdengarkan amal maka Allah akan memperdengarkan
amal orang itu. “(H.R Baihaqi). Artinya jika seseorang berbuat kebaikan dengan
tujuan agar dilihat orang maka Allah akan membuat amal tersebut dilihat orang.
Dan jika orang melakukan amal kebaikan agar kebaikannya didengar orang maka
Allah akan membuat amal tersebut didengar orang.
Artiny
jika seseorang berbuat kebaikan dengan tujuan agar dilihat orang maka Allah
akan membuat amal tersebut dilihat orang. Dan jika orang melakukan amal
kebaikan agar kebaikannya didengar orang maka Allah akan membuat amal tersebut
didengar oleh orang. Setelah itu, orang tersebut sudah tidak memilikii bagian
apa pun dari amal kebaikannya. Sebab,apa yang menjadi tujuannya sudah tercapai,
yaitu dilihat atau didengar oleh orang lain sehingga orang lain memujinya.
Lalu
bagaimana orang yang tulus ikhlas beramal, tetapi tetap saja ada yang
memujinya? Jika seseorang berbuat amal kebaikan dengan ikhlas, tetapi ternyata
pahala di akhirat. Karena itu, sekalipun
Anda dipuji oleh orang lain karena rajin adzan dan shalat berjamaah di masjid,
tetapi selama niat Anda karena Allah dan tidak mengharapkan pujian maka Allah
tetap mendapatkan pahala dari Allah.
Selain
riya’, dan sum’ah , ‘ujub juga dapat merusak amal perbuatan. ‘ujub adalah
merasa kagum pada kebaikan diri sendiri. Kadang kala seseorang melakukan amal
kebaikan diri sendiri dan berusaha menyembunyikan serta tidak menceritakan.
Setelah ia berhasil menahan diri dari memperlihatkan amal dan memperdagangkan
amal maka muncullah perasaan kagum pada keikhlasannya. Inilah yang disebut
dengan ‘ujub. Dan, ini merusak amal perbuatan.
Menghilangkan
sifat ‘ujub ini tidaklah mudah karena ‘ujub tersembunyi di dalam diri. Jika
riya’dan sum’ah mungkin mudah dikenali oleh orang lain sehingga bisa saja orang
tidak heran dan tidak kagum pada amal orang tersebut, tetapi justru mencemooh seraya berkata,” Amal begitu
saja dipamerkan.” Akan tetapi, ujub tidak mungkin diketahui oleh orang lain. Yang
mengetahui seseorang ‘ujub atau tidak adalah Allah. Karena itu,’ujub lebih
tersembunyi daripada riya’ dan sum’ah.
Ketika
seseorang mendengarkan adzan maka ada dua pilihan baginya, shalat ataukah
melanjutkan aktivitas. Ketika ia memilih shalat maka ada dua pilihan lagi, di
masjid atau di rumah. Ketika ia melanjutkan shalat di masjid maka ada dua
pilihan khusyuk atau tidak. Ketika iia mulai khusyuk, tiba-tiba ia berkata
kepada dirinya sendiri, “Wah di kampung ini sepertinya tidak ada orang yang
kalau shalat khusyuk seperti saya.” Nah, itulah perasaan ‘ujub yang bisa
merusak amal perbuatan.
Seseorang
memerlukan keikhlasan sebelum melakukan amal, ketika melakukan dan sesudah
melakukannya. Keikhlasan sebelum melakukan amal adalah ketika seseorang
mendengar suara adzan bergema, dengan tidak merasa keberatan sedikit pun ia
meninggalkan aktivitasnya dan segera
Begitu
tersembunyinya keikhlasan di dalam hati seseorang sehingga seseorang yang
mengatakan, “ Sungguh aku ikhlas, “ adalah orang yang tidak ikhlas,sebab perkataannya
tersebut hanyalah bertujuan menampakan keikhlasan dalam dirinya, padahal
keikhlasan itu sesuatu yang tidak perlu di limpahkan. Bahkan , keikhlasan
haruslah dirahasiakan dan jangan sampai diketahui oleh orang lain sebagaimana
kita kencing, berak dan berhubungan suami istri. Kita tidak ingin ketiga hal
itu dilihat orang lain sebagaimana kita tidak ingin kebaikan kita dilihat oleh
orang lain.
Orang
yang lalai dari shalatnya bukan saja shalatnya menjadi sia-sia. Lebih dari itu,
orang yang lalai dari shalatnya diancam oleh Allah akan dimasukan ke dalam
Neraka Wail. Allah berfirman.” Maka kecelekaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”( Q.S Al- Ma’un [107]:4-5).
Para
ulama berbeda pendapat mengenai makna kata sahun (lalai) dalam ayat di atas.
Sebagian besar ulama berpendapat adalah orang-orang yang sibuk sehingga
mengakhirkan shalat dari waktunya. Ada pula ulama yang menafsirkan bahwa orang
yang lalai dari shalatnya adalah mereka yang apabila shalat pada awal waktu
tidak merasa bahagia karena tidak menganggap bahwa itu adalah kebaikan, danjika
mengerjakan shalat pada akhir waktu tidak bersedih dan tidak menganggap dirinya
melakukan suatu kesalahan.
Ada
pula ulama yang menafsirkan lalai dari shalat adalah hatinya tidak khusyuk
sehingga ia lupa apakah shalatnya sudah mendapatkan tiga rakaat ataukah empat
rakaat? Anda bisa membaca penjelasan masalah ini lebih rinci dalam kitab Ihya
Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Tafsir Ibnu Katsir.
Keterangan
para ulama sebagaimana dijelaskan meskipun tampaknya bertentangan satu dengan
yang lainnya, tetapi sebenarnya saling terkait. Seseorang yang shalat pada awal
waktu cenderung bisa lebih khusyuk, daripada shalat pada akhir waktu.
Bagaimanakah suasana hati anda ketika anda sedang melaksanakan shalat Ashar
menjelang waktu maghrib? Tentu perasaan anda tidak tenang karena terburu
datangnya waktu maghrib. Anda akan lebih tidak tenang lagi ketika saat itu ada
teman yang datang. Apalagi teman tersebut mengenal anda sebagai orang shalih
dan pantas dianggap sebagai teladan. Jadi, bukankah waktu shalat sangat
berkaitan dengan kekhusyuan shalat seseorang?
Hakikat Yang Mengetahui Sia-Sia Dan Tidaknya Sholat
Hanyalah Allah
Sesungguhnya yang mengetahui
hakikat apakah sholat itu sia-sia atau diterima oleh Allah hanyalah Allah.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sholatnya sendiri atau pun
sholatsendiri sia-sia atau kah tidak. Meski pun demikian, bukan berarti tidak
ada tolak ukurnya. Sebab, Allah dan Rasulullah sudah memberitahukan tolak ukur
sholat yang diterima dan yang tidak diterima, yang bermanfaat dan yang sia-sia.
Rasulullah saw bersabda,” Betapa banyak orang
berpuasa yang tidak memperoleh dari puasanya selain rasa lapar, dan
betapa banyak orang sholat yang tidak memperoleh dari sholatnya tersebut selain
begadang,” (H.R Ahmad).
Hadits tersebut menunjukan
kepada kita bahwa diantara orang yang berpuasa dan sholat ada yang tidak
mendapatkan apa-apa dari puasa dan sholatnya tersebut selain rasa lapar, haus,
dan lelah karena begadang. Hadits tersebut diperkuat oleh hadits Qudsi yang
diriwayatkan oleh Ad-Dailami berikut.
“Tidaklah
semua orang yang sholat itu sholat. Sesungguhnya Aku hanya hanya menerima
sholat orang yang berendah hati terhadap keagungan-Ku , menahan syahwatnya dari
apa yang Aku haramkan tidak terus-menerus berbuat durhaka kepada-Ku, memberi
makanan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang
yang ditimpa musibah, memberi tempat berlindung bagi orang asing (pengembara).
Semua itu dikerjakan karena Aku. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku. Sesungguhnya
cahaya wudhunya orang yang sholat disisi-Ku lebih terang daripada sinar
matahari. Tanggungan-Ku untuk menjadikan kebodohan menjadi sifat santun,
kegelapan menjadi cahaya. Ia memanggilku dan Aku pun memenuhi panggilannya. Ia
meminta kepada-Ku dan Aku pun memberinya...”
Dari hadits yang telah dikutip
diatas maka kita telah bisa mengetahui tolak ukur apakah sholat seseorang
sia-sia ataukah tidak. Sholat yang sia-sia adalah sholat yang tidak diterima
oleh Allah disebut sia-sia karena pada hakikatnya orang yang beribadah kepada
Allah berharap agar peribadatannya diterima oleh-Nya.
Jika diperhatikan secara rinci
baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menjelaskan tentang shalat
maka kita bisa membagi penyebab shalat yang sia-sia menjadi dua, yaitu sebab
vertikal dan sebab horizontal. Yang dimaksud dengan sebab vertikal adalah
sebab-sebab yang berkaitan dengan hak-hak Allah yang tidak ditunaikan,
sedangkan yang dimaksud dengan sebab horizontal adalah sebab-sebab yang
berkaitan dengan hak-hak anak Adam atau hak manusia. Berikut penjelasannya.
Sebab-Sebab Vertikal Shalat Menjadi Sia-sia
Secara vertikal ada beberapa sebab yang menjadikan shalat seseorang
menjadi sia-sia. Diantara sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adanya kemusyrikan
Syirik adalah dosa
kepada Allah yang bisa menggugurkan amal ibadah seseorang. Bahkan Allah
mengancam para pelaku dosa syirik tidak mendapatkan ampunan jika mereka tidak
bertobat dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain
dari (Syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sesungguh ia telah membuat dosa besar.” (Q.S.
An-nissa [4] : 48)
Syirik bisa dengan ucapan
keyakinan dan perbuatan. Syirik menyebabkan amal perbuatan seseorang hancur
termasuk shalatnya Imam Thabrani meriwayatkan hadits dari Tsauban bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga dosa
besar yang membuat amal tidak bermanfaat. Menyekutukan Allah berbuat durhaka
kepada orang tua dan lari dari medan peperangan.” (H.R.Thabrani)
2.
Adanya pamrih selain Allah
Cobalah kita perhatikan
sesudah shalat adakah kita memiliki pamrih selain allah? Apakah kita
benar-benar shalat karena Allah atau mengikuti kebiasaan semata, atau bahkan
kita shalat karena pamer?
Jika kita ingin menguji
apakah shalat kita sudah bersih dari segala pamrih duniawi maka tanyakan dahulu
kepada diri anda. Apakah jika shalat kita dicela kita akan sakit hati? Jika tidak
ada yang mengagumi shalat kita apakah kita akan kecewa? Jika anda sudah shalat
5 waktu tetapi apa yang menjadi keinginan kita juga tidak juga tercapai apakah
anda akan prustasi? Jika kebetulan ada orang yang melihat shalat kita, apakah
kita kemudian akan memperbagus shalat dan jika mereka memuji maka kita akan
merasa bangga kiranya pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak cukup kita
tanyakan sekali saja pada diri kita. Akan tetapi, setiap hendak shalat kita
selalu menanyakan kepada diri sendiri agar shalat kita selalu terkontrol.
3.
Tidak sempurna Syarat dan Rukunnya
Shalat memiliki syarat dan rukunnya yang harus dipenuhi semuanya
apabila seseorang shalatnya tidak memenuhi syarat dan rukunnya tanpa adannya
udzur’ maka shalatnya menjadi batal dan jika shalatnya menjadi batal maka Allah
tidak menerima shalat orang tersebut sehingga sia-sia lah shalatnya mengenai
tidak diterimanya shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah Rasulullah
saw bersabda, “Tidak ada shalat bagi
orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” {H.R.Bukhori)
Masih banyak hadits yang menunjukan bahwa Allah tidak menerima shalat
bila shalat tersebut tidak dikerjakan sesuai dengan syarat rukun yang ada atau
syarat rukunnya di sempurnakan tetapi ia melakukan perbuatan-perbuatan yang
membatalkan shalat.
4.
Sombong dan terus mengerjakan
maksiat
Allah tidak menerima shalat orang yang sombong. Dia hanya menerima
shalat orang-orang yang merendahkan hati kepada-Nya. Di dalam hadits qudsi
Rasulullah saw bersabda, “(Allah
berfirman) Tidaklah setiap orang yang shalat itu shalat. Sesungguhnya Aku hanya
menerima shalat dari orang yang berendah hati kepada keagungan-Ku, menahan
syahwatnya dari hal-hal yang Aku haramkan dan tidak terus-menerus berbuat
maksiat kepada-Ku.” (H.R. Ad-Dailami).
Begitu pula orang yang
tidak bisa menjaga syahwatnya dari segala yang di haramkan dan apabila
seseorang itu shalat kesombongannya semakin menjadi-jadi dan tidak mau
merendahkan diri dihadapan Allah SWT maka Allah tidak menerima shalatnya. Orang
yang terus menerus berbuat dosa dan
tidak bertaubat atau bertaubat lalu berdosa lagi juga termasuk orang yang
terancam tidak di terima shalatnya oleh Allah. Kadang orang tidak terasa begitu
mudahnya berbuat dosa, kadang merasa dan sadar berbuat dosa tetapi tidak mampu
untuk menghentikannya. Padahal perbuatan yang demikian bisa menjadikan
shalatnya tidak di terima di hadapan Allah.
5.
Memakan makanan yang haram
Didalam hadits,
Rasulullah saw bersabda, “ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang
baik-baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman sebagaiman
Diam memerintahkan para Rasul. Allah berfirman, “ Wahai para Rasul, makanlah
makanan yang baik-baik dan berbuatlah kebaikan.
Sesunggunya Aku Maha Mengetahui Apa yang kalian kerjakan. “ Dan Allah
berfirman juga, “Wahai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik-baik
yang kami berikan kepadamu.
Diawal telah
dijelaskan bahwa shalat adalah do’a. Dengan demikian hadits di atas juga
meliputi orang yang shalat. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Baik akan
menerima shalat kita jika makanan, minuman, dan pakaian semua di dapat dengan
cara yang haram
6.
Mendahulukan atau mengakhirkan
shalat dari waktunya
Shalat adalah ibadah wajib bagi seorang
mukmin yang telah di tentukan waktunya sesuai dengan firman Allah.
” Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang
di tentukan waktunya atas orang orang yang beriman.” (Q.S. An- Nisa 4: 45)
Sebab- sebab Horisontal shalat menjadi sia-sia
1.
Tidak mencegah diri dari perbuatan
yang mungkar
Dalam Al- Qur’an Allah berfirman
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar”. (Q.S Al Ankabut[29]:45 )
Perbuatan keji menyangkut
hak Allah, sedangkan perbuatan mungkar menyangkut hak manusia, artinya
perbuatan zina disebut sebagai perbuatan keji sedangkan mungkar adalah
perbuatan anggota tubuh.
2.
Enggan berbuat baik kepada orang
lain
Kata
shalat juga berarti rahmat atau kasih sayang. Dengan salam sebagai penutup,
semestinya orang memberi keselamatan kepada orang di kanan dan kirinya, pada
intinya orang enggan bersalaman atau bersilaturahmi.
3.
Seorang istri yang keluar rumah
tanpa izin suami
Seorang istri wajib mematuhi suaminya. Jika
hendak keluar meninggalkan rumah wajib ada izin dari suami meskipun untuk
berkunjung kerumah orang tuanya.
Hadits Rasulullah saw,” ada tiga golongan
yang tidak diterima shalat mereka. Wanita yang keluar dari rumahnya tanpa izin
suaminya; budak yang melarikan diri dari tuannya ; dan seorang laki-laki yang
mengimami suatu kaum, sedangkan kaum itu tidak suka kepadanya; (H.R. Ibnu Abi
Syaibah)
4.
Budak yang melarikan diri
Islam memang tidak menginginkan perbudakan.
Karena itulah banyak perbuatan-perbuatan yang harus membebaskan budaknya, akan
tetapi seorang budak boleh bebas begitu saja dengan melarikan diri dari tuannya
tanpa di bebaskan dari tuannya atau menebus uang pembebasan.jika seorang
budak melarikan diri dari tuannya maka
shlatnya tidak di terima oleh Allah SWT.
5.
Imam yang dibenci oleh makmum
Seorang imam dibenci oleh makmum disebabkan
oleh tiga kemungkinan;
1.
Tingkah laku imam itu tidak
terpuji, enggan membantu orang lain,suka menyakti hati dan perasaan dan
sebainya
2.
Kemungkinan imam tersebut tidak
bagus shalatnya
3.
Kemungkinan imam tidak disukai
makmumnya di sebabkan karena memperlama shalatnya sehingga makmum merasa
berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar